EMOTIONAL
BRANDING
VERSUS FILOSOFI SARI BUAH
Thomas
Dewey (dalam Allan&Pease, 2006:1) menyatakan bahwa kebutuhan utama yang
telah melekat pada sifat manusia adalah merasa diri penting, diakui, dan
dihargai. Hasil uji hipotesis yang dilakukan oleh Rezeki (2006:iii) menunjukan
bahwa terdapat hubungan positif (58,1%) antara kebutuhan harga diri dengan
kecenderungan perilaku konsumtif terhadap telepon genggam pada mahasiswa.
Penelitian lain menunjukkan bahwa konsep
diri sebanyak 12, 2% turut mempengaruhi perilaku konsumtif remaja putri dalam
pembelian produk kosmetik juga menunjukan (Parma, 2007:iii). Salah satu afiliasi sifat
dasar manusia menurut penulis adalah perilaku konsumtif. Oleh karena itu
menurut hemat penulis walaupun kebutuhan utama yang disebutkan Dewey melekat
pada sifat manusia, namun terdapat berbagai cara dan strategi yang mampu
diciptakan untuk mengurangi afiliasi sifat dasar tersebut.
Berdasarkan
hasil penelitian menunjukan bahwa usia remaja (15-18 tahun) ibu kota memiliki
gaya hidup “shopping mall” sebesar
52,5%. Lebih lanjut lagi di jabarkan bahwa sebanyak 40% perempuan membelanjakan uangnya di mall lebih dari satu juta rupiah dengan frekuensi waktu lebih dari
lima jam sebanyak 20%. Tiga teratas kegiatan yang para shoppers lakukan yaitu nonton bioskop (40%), makan (40%), dan
shopping (65%). Ini menunjukan bahwa remaja ibu kota biasa memanjakan diri di mall. Dugaan ini diperkuat dengan temuan
hasil penelitian tentang gaya hidup keluarga di ibu kota yang membiasakan diri
berbelanja di mall (87,5%); kegiatan
waktu luang bersama keluarga dihabiskan untuk pergi ke mall (34%); dan jenis pengeluaran terbesar keluarga adalah
rekreasi/hiburan (40%) (Wagner, 2009:59-64). Dari fakta yang dikemukan oleh
peneliti diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa remaja ibu kota yang terbiasa
dimanjakan dengan kehadiran mall
memiliki tingkat konsumtif yang tinggi.
Permintaan
individual konsumen terhadap suatu barang tidak terlepas dari perilaku konsumen
dalam mengkonsumsi barang tersebut ( Sudirman&Algifari, 2009:1). Oleh
karena itu Rusandi (2004) menyebut perilaku konsumtif sebagai suatu perilaku
memebeli yang tidak didasarkan pada pertimbangan rasional, melainkan karena
adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional lagi.
Sangat
menarik, dalam sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa siklus haid yang
dialami perempuan bisa memperngaruhi mood
seseorang perempuan untuk berbelanja lebih agresif alias boros. Dua pertiga
dari 443 perempuan berusia 18-50 tahun dilaporkan tidak mampu mengontrol emosi
yang kerap muncul saat haid, seperti rasa marah, depresi ataupun stress.
Sehingga kaum hawa tersebut memutuskan untuk pergi membelanjakan uang semakin
besar untuk menceriakan suasana hatinya dan mengontrol emosinya (Karen, dalam Haluan: 14 Mei 2011).
Pasar
konsumen kebutuhan kini diubah menjadi keinginan. Kebutuhan untuk berpakaian
berubah menjadi keinginan untuk memiliki Logo, Gucci, Prada, Elisabeth atau Hermes.
Pada kasus ini pengusaha harus pintar memposisikan brand mereka menjadi hal yang menarik secara emosional bagi
konsumen dari kebutuhan menjadi keinginan. Ketika konsumen merasa sebagian dari
hidupnya di lengkapi dan merasa terbantu oleh brand, maka saat itu muncullah emotional
branding yang kuat antara brand
dan konsumennya.
Emotional branding
yang terlalu kuat pada diri seseorang tanpa pemahaman lebih pada ujungnya akan
menjadi bomerang tersendiri bagi manusia. Hal itu menurut hemat penulis,
keajegan suatu brand tidaklah
bersifat mutlak melainkan pasang surut. Surutnya perusahaan tidak akan
dimunculkan kepada konsumen setianya, padahal perusahaan sedang tidak
memproduksi barang karena krisis, namun barang yang beredar dipasaran tetap ada
dan dengan harga yang sangat murah. Anda akan merasakan ada yang berbeda dengan
brand langganan, saat itulah anda
menyadari kalau jaket branded anda
hanyalah terbuat dari kulit sintetis.
Brand
dan sari buah adalah dua hal yang sama dalam mempertahankan kualitas. Emotional branding selalu bersahabat
dengan uang, memacu manusia untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang kemudian
untuk membeli barang branded demi
prestise. Hal ini bertolak belakan dengan sari buah. Artinya, kalau anda
memiliki apel buatlah sari apel, janganlah membuat sari apel dengan rasa jeruk.
Karena jeruk dan apel tidak akan pernah terjadi apel rasa jeruk atau jeruk rasa
apel. Yang ada sari apel beraroma jeruk, atau sari jeruk beraroma apel.
Perusahaan
branding yang anda kira memanjakan
anda, sebenarnya sama sekali tidak sepenuhnya mencintai setumpuk kepentingan
anda, melainkan membagi cintanya untuk kepentingan gaji karyawan dengan
mensubtitusi melalui rekayasa ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, semakin
lama sari anggur diperam, maka harganya semakin melangit. Investasi sari buah
lebih menguntungkan, jika dibandingkan invetasi barang-barang branded demi prestise.
RUMUSAN
MASALAH
- Bagaimana menciptakan emotional branding dengan konsumen
wanita?
- Bagaimana filosofis sari buah
memberikan upaya motivasi menabung guna mengurangi tingkat konsumtif
berlebih wanita indoneasia?
TUJUAN
PENULISAN
- Menjelaskan proses terciptanyaemotional branding dengan konsumen
wanita.
- Menjelaskan filosofis sari
buah sebagai salah satu upaya motivasi menabung guna mengurangi tingkat
konsumtif berlebih wanita indoneasia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Sifat
Dasar Utama Manusia
Allan&Pease
(2006:1) menggolongkan sifat dasar utama manusia menjadi tiga kelompok yaitu;
pertama, manusia itu merasa dirinya dipentingkan. Merasa diri penting merupakan
kebutuhan manusia paling kuat dan menetap. Inilah satu sifat yang membedakan
manusia dengan binatang. Merasa diri penting inilah yang membuat manusia ingin
memakai baju bermerek, memiliki mobil mewah, meraih gelar akademis, atau
memiliki kebanggaan atas keberhasilan anak-anak mereka.
Dewey
mengemukakan bahwa selain merasa diri penting, manusia pada dasarnya juga
melekat sifat diakui dan dihargai (Allan&Pease, 2006:2). Keinginan untuk diakui
dan dihargai inilah yang membuat seorang remaja senang bergabung dengan geng
atau perkumpulan pemuda. Bahkan karena ingin dikenal, sebagian dari remaja ini
bahkan rela bergabung dengan geng perampok yang keji.
Kedua,
manusia lebih tertarik dengan dirinya sendiri. Orang lain lebih tertarik kepada
diri mereka sendiri dibandingkan dengan diri anda. Orang hanya tertarik pada
apa saja yang dapat membeikan keuntungan bagi mereka. Sifat mementingkan diri
sendiri ini merupakan naluri bertahan hidup yang sudah terekam dalam otak kita,
serta merupakan sifat bawaan manusia sejak manusia diciptakan.
Ketiga,
hukum alam tentang imbalan yang seimbang. Memberikan sesuatu yang nilainya sama
seperti yang kita terima dari orang lain merupakan desakan yang dengan
sendirinya muncul dari alam bawah sadar manusia. Berdasarkan teori diatas,
penulis menarik kesimpulan bahwa sifat dasar manusia adalah sebuah landasan berpikir
pertama yang digunakan para perusahaan untuk menciptakanemotional branding dengan konsumennya. Artinya,emotional branding pada dasarnya sangat mengerti bahwa kebutuhan
utama manusia adalah dianggap penting dan dihargai, sehingga semakin sebuah
perusahaan branding membuat konsumennya merasa penting, maka semakin positf
pula respon mereka terhadap branding perusahaan.
B.
Periode
Emas Remaja
Masa
remaja adalah masa transisi seseorang banyak mengalami perubahan dalam aspek
kehidupan, diantaranya, psikologis, kognitif, dan psikoanalisis (Santrock,
2007:18). Seiring dengan perubahan tersebut pada usia remaja mulailah etrbentuk
pola konsumsi yang kemudian berkembang menjadi perilaku konsumtif (Rosandi,
2004). Hal ini menurut penulis dikarenakan perubahan yang terjadi bersifat
kausalitas dan berkelanjutan, artinya perubahan biologis mampu mendorong
munculnya perilaku konsumtif, karena di masa transisi ini tuntutan masyarakat
menjelma melalui berbagai medium.
Hal
tersebut didukung oleh pendapat Agustina (2005) yang menyatakan bahwa gaya
hidup mempengaruhi perilaku seseorang, dan pada akhirnya menentukan
pilihan-pilihan konsumsi seseorang.
C.
Perilaku
Konsumtif
Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsumerisme dibatasi
pengertiannya sebagai sebuah cara hidup yang tidak hemat. Kemudian konsumtif
disebutkan sebagai sifat yang hanya mampu memakai, menggunakan, tanpa mampu
menciptakan.
Konsumtif, kata ini digunakan untuk menunjuk pada
perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai
produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok (Fransiska
: 2003).
Konsumtif
adalah suatu gaya hidup atau pola hidup yang dikendalikan oleh keinginan
membeli barang-barang yang tidak atau kurang dibutuhkan, selalu merasa tidak
puas, bergaya hidup boros dan berlebihan dalam membeli sesuatu untuk memenuhi
hasrat kesenangan duniawi semata (Yuanita, 2003).
Lebih jelasnya Perilaku konsumtif disebut Mummery
and Hobson's Under-Consumption Theory dengan istilah consumption yang artinya tidak menabung atau berinvestasi (not saving or investment). Perilaku
konsumtif yang akhir-akhir ini popular adalah menggunakan pakaian bermerk dan
juga menggunakan selularphone dengan model terbaru (Yuniawati, 2003).
Menurut
Rosandi (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah
sebagai berikut:
(a).
Demografi adalah data yang menggambarkan suatu populasi dalam hal ukurannya
(jumlah individu dalam suatu populasi), distribusinya (berdasarkan lokasi
geografis dan lokasi tinggal di perkotaan, pedesaan, atau pinggiran kota),
serta strukturnya (umur, pendapatan, pendidikan). Faktor demografi mempengaruhi
gaya hidup seseorang, dalam caranya memanfaatkan waktu, barang atau jasa yang
dibutuhkannya maupun barang atau jasa yang dipilih untuk dikonsumsinya. (b).
Perilaku konsumtif juga dipengaruhi faktor situasional seperti kondisi
keuangan, waktu dan juga tempat pembelian dapat mempengaruhi perilaku membeli
seseorang. Seseorang yang memiliki keuangan yang lebih cenderung akan lebih
konsumtif, demikian juga dengan seseorang yang memiliki lebih banyak waktu
luang akan membeli lebih banyak dibandingkan yang tidak. (c). Keluarga
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku
anggotanya, termasuk dalam pembentukan keyakinan dan berfungsi langsung dalam
menetapkan keputusan konsumen. (d). Iklan mempunyai pengaruh yang besar dalam
menimbulkan perilaku konsumtif. Hal ini karena media massa sudah berkembang
menjadi bagian dari kehidupan manusia dan tidak hanya berperan sebagai penyebar
informasi dari peristiwa yang terjadi, tetapi juga berperan sebagai media
hiburan, pendidikan, sosialisasi, dan propaganda (Aprianti, 2005).
Menurut
Rosandi (2004), iklim tersebut dapat menimbulkan fenomena psikologi baru yang
dikenal dengan fenomena homo consumens, yakni nafsu lapar dan haus yang
tidak pernah terpuaskan oleh produk-produk konsumsi yang ada, karena tak
henti-hentinya dipupuk, dirangsang, dan dihembus-hembus oleh iklan baru.
D.
Emotional
Branding
Brand
adalah komoditas atau jasa yang dikemas dalam sebuah persona emosional,
dipatenkan dengan sebuah image atau logo. Persona emosional adalah sebuah
pengalaman sensoris yang diciptakan lewat desain konseptual dari sebuah brand.
Branding, merujuk pada kumpulan hal-hal yang dipercayai dan dipegang pembeli
mengenai perusahaan beserta
produk/jasanya, baik positif maupun negatif. Definisi ini bergeser
menjadi lebih dari sekedar nama, logo, atau identitas grafik (Rachman, Femina:2011).
Christodoulides
dkk (2006) mendefinisikan hubungan emosional dalam konteks yang berhubungan
dengan suatu brand adalah affinitas antara konsumen dan sebuah brand yang
dibuat lewat afiliasi (hubungan), perhatian, dan empati. Hubungan emosional
yang dibagikan dengan konsumen, yang termasuk sebagai salah satu dimensi
pengukuran dari komunitas Psikologi, dideskripsikan sebagai hubungan antara
anggota (Obst & White 2004).
Emotional
branding terbentuk dari unsur self-concept,
self-congruent by iklan, dan
Loyalitas brand. Indikator lain yang dipakai Kamp and MacInnis (1995) sebagai
kriteria pada hubungan emosional dengan brand adalah relevansi brand,
kesesuaian self-brand image, dan perasaan positif yang kuat.
Self-concept
yang dipakai/dimaksudkan dalam proses ini mungkin saja adalah self-image seseorang yang sebenarnya
(trait yang dipercayai dimiliki seseorang),
ideal self-image (trait yang ingin dimiliki seseorang), social self-image (trait yang diberikan
oleh orang lain pada dirinya) (Johar
& Sirgy 1991). Tergantung pada tipe kesesuaian image yang dibutuhkan/diinginkan, konsumen mungkin mencari
keuntungan brand yang memenuhi kebutuhan social
consistency (actual self-image), kebutuhan self-esteem (ideal self-image),
atau kebutuhan pengakuan sosial (ideal
social self-image).
Dari
deskripsi ini, dapat disimpulkan bahwa konsumen mungkin lebih tertarik untuk
menghubungkan antara motif mereka terhadap penggunaan brand dan kemampuan brand
untuk memenuhi motif-motif tersebut daripada hubungan paralel antara image atau
kepribadian dari brand dengan dirinya.
Fournier (1998) mendukung kesimpulan ini, dalam studinya mengenai
hubungan konsumen-brand. Bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang lebih
kepada persoalan pengenalan kesesuaian pemenuhan tujuan daripada kesamaan
antara aspek produk dengan image kepribadiannya.
Chang
(2005) mengemukakan teori bahwa pesan iklan yang berisi self-congruent mempercepat individu untuk segera melakukan self-referencing, membayangkan diri
mereka sendiri pada situasi yang diilustrasikan dalam iklan, dan hadirnya iklan
itu juga menimbulkan respon emosional positif yang kuat. Sebagai hasil dari
perasaan positif dan proses self-referencing
oleh iklan tersebut, para pemirsa punya sikap lebih menyukai iklan dan brand
tersebut. Self-referencing ini akan
memperlancar pemaknaan brand yang disebabkan oleh keuntungan emosional yang
dihubungkan dengan diri sendiri, faktor krusial pada pembentukan self-brand connection (Escalas &
Bettman 2005, 2003).
Implikasinya
adalah peran iklan dalam menciptakan sebuah hubungan emosional dengan brand
adalah untuk mengisi brand dengan makna
(melalui komunikasi tentang keuntungan emosional) di mana konsumen dapat
bergabung untuk berhubungan bersama brand dengan self-comcept mereka.
Hubungan
emosional dimulai dengan iklan yang bertujuan untuk mengkomunikasikan
keuntungan emosional dalam bentuk pendek. Ketika individu menemui pesan
keuntungan emosional, mereka dapat menilai kesesuaian pesan tersebut. Secara
lebih spesifik, konsumen akan memutuskan apakah keuntungan emosional yang
dikomunikasikan cocok dengan kebutuhan atau tidak
(self-consistency, self-esteem, social consistency, atau social approval)
(Johar & Sirgy 1991).
Loyalitas
brand didefinisikan sebagai tingkat dimana konsumen mempertahankan sikap
positif terhadap brand, memiliki komitmen terhadapnya, dan berkeinginan untuk
meneruskan pembelian selanjutnya. Implikasinya adalah peran iklan dalam
menciptakan sebuah hubungan emosional dengan brand adalah untuk mengisi brand dengan makna (melalui
komunikasi tentang keuntungan emosional) di mana konsumen dapat bergabung untuk
berhubungan bersama brand dengan self-concept
mereka.
E.
Succesfull Saving
Perilaku
konsumtif diistilahkan oleh Mummery and Hobson's Under-Consumption Theory
adalah dengan istilah consumption yang
artinya tidak menabung atau berinvestasi (not
saving or investment). Seseorang yang memiliki perilaku konsumtif pada
umumnya tidak mampu menabung (saving).
Secara teori menabung adalah salah satu kegiatan positif yang harus dilakukan
oleh negara modern.
Hal
ini didukung dengan pendapat Carroll (2006:1)
“Consumption
and saving decisions are at the heart of both short- and long-run macroeconomic
analysis (as well as much of microeconomics). In the short run, spending
dynamics are of central importance for business cycle analysis and the
management of monetary policy. And in the long run, aggregate saving determines
the size of the aggregate capital stock, with consequences for wages, interest
rates, and the standard of living.” (konsumsi dan menabung
merupakan keputusan individu dari dua analisis economi jangka panjang dan
pendek (sama banyaknya dari microecnomi). Dalam jangka pendek, konsumsi dan
investasi digunakan untuk menyadari dinamika dari siklus analisis bisnis dan
manajemen kebijakan moneter. Dan untuk jangka panjang, pentingnya investasi
bagi negara adalah sebagai ketersediaanya modal, dengan konsekuensi untuk wages, kepentiingan suku bunga, dan
harga standart sembako).
Untuk
negara yang sedang berkembang, kebijakan pemerintah untuk menggalakkan budaya
menabung (investasi) seharusnya
disosialisasikan menjadi komitmen nomor satu. Di lain pihak gempuran globalisasi
membuat batas-batas territorial tidak memnjadi sebuah masalah untuk bertukar
informasi. Ditambah dengan diratifikasi segala perjanjian yang menyatakan bahwa
Indonesia siap dengan pasar bebas. Maka produk domestic akan bersaing dengan
produk luar negeri. Dan semoga hasil penjualan tersebut di sirkulasi kembali di
Indonesia sebagai investasi, namun celaka jika negara kita hanya digunakan
tempat penjualan barang dagangan tanpa investasi.
Hal
serupa juga diperoleh dari hasil penilitian Neil (Carroll, 2006:2)
yang mana disebutkan bahwa hubungan antara investasi dan pertumbuhan telah
dipercaya bergantung pada carapandang pendapatan masa depan. Oleh karena itu
menbung hemat penulis adalah suatu keharusan yang didukung penuh oleh semua steakholder guna penerapan dan
manfaatnya efektif.
BAB
III
PEMBAHASAN
Menabung
bukanlah sebuah budaya yang diprogramkan oleh pemerintah sebagai upaya komitmen
bersama. Hal ini karena negara tidak pernah mempercayai kemampuan rakyatnya.
Pemerintah hanya percaya kepada pihak asing, yang terpenting mereka memiliki
investasi besar di Indonesia, namun tidak pernah memperhitungkan kerugian yang
akan ditimbulkan.
Menabung
dan olahraga itu kegiatan sadar manusia dengan tujuan positif. Kedua hal
tersebut akan sangat merepotkan jika dilakukan oleh orang yang tidak pernah
melakukannya. Kedua hal tersebut akan sangat dibutuhkan ketika seseorang telah
mengalami kerugian. Misalnya, seseorang yang dahulunya tidak pernah olahraga,
sehingga suatu hari dokter memvonis menderita penyakit jantung. Maka penderita
ini akhirnya mulai menata pola makan dan mengatur pola olahraga. Bagi orang yang
tidak pernah olahraga, tentu pada hari-hari pertama mengalami banyak keluhan,
mulai dari capek, pusing, pegal-pegal, bahkan hingga demam. Namun, jika kegitan
olahraga ini dibiasakan, maka kegiatan ini akan menguntungkan di kemudian hari.
Hal serupa juga yang akan terjadi dengan orang yang hendak menabung.
Sebagai
negara berkembang yang tingkat konsumsinya tinggi (BPS Agustus 2011) emotional branding mulai menjadi
penyakit baru yang terus mewabah. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
salah satu faktor dukungan emotional
branding adalah daya beli yang meningkat, kontruksi sosial, dan kemudahan
mengakses barang yang diinginkan.
Tidak
sedikit emotional branding memberikan
dampak negatif terhadap konsumen dan negara. Dampak negative bagi konsumen
adalah munculnya depresi yang tercipta karena tekanan sosial dari kelompok
karena tidak menggunaka barang-barang bermerk. Selain itu, emotional branding menciptakan jurang sosial baru di masyarakat. Sedangkan
kerugian yang dialami negara adalah banyaknya barang bajakan. Masyarakat dengan
ekonomi lemah namun menginginkan gaya hidup branded pada akhirnya akan membeli
bajakan. Faktanya, dimanapun kita berada sebagian besar para wanita memiliki
salah satu aksesoris dengan merk Chanel mania ataupun LouiVistonholic.
Saya
jadi teringat kata-kata Julius Rosenwald yang pernah memberikan nasihat kepada
salah seorang sahabatnya yang bunyinya demikian “kalau anda mempunyai jeruk, buatlah
air jeruk”. Filosofis dasar ini memberikan kesempatan bagi kita untuk sejenak
melakukan refleksi kedalam jiwa yang sadar menjauhkan diri dari kesedihan
akibat depresi emotional branding.
Orang
yang bijaksana bila diberi jeruk, maka ia akan berkata “pelajaran apa yangn
dapat saya perik dari kemalangan ini? Bagaimana saya bisa memperbaiki situsi
ini? Bagaimana saya bisa memanfaatkan jeruk ini hingga menjadi air jeruk?”.
Adler
(Carnegie, 1989:226-227) menyatakan bahwa sifat dasar manusia yangn paling
istimewa adalah kemampuannya untuk mengubah minus menjadi plus. Pendapat ini
didukung oleh Thompson (Carnegie, 1989:229) yang menyebutkan bahwa sebenarnya
anda menemukan kebenaran yang dulu diajarkan oleh orang-orang Yunani 500 SM
yakni sesuatu yang paling baik adalah yang paling sulit.
Menabung
bukanlah sesuatu inovasi ekonomi tanpa manfaat. Belajar dari wanita-wanita
bromo yang perkasa, yang setiap harinya naik turun gunung mencari kayu guna
dijual, lalu uangnya mereka gunakan hanya untuk tiga hal, yaitu jika salah
seorang keluarga ‘babaran’
(melahirkan), nikahan, dan upacara kematian. Maka tidaklah salah jika Fosdick
(Carnegie, 1989:229) mengatakan bahwa kebahagian tidaklah selalu berupa kesenangan,
tapi berupa kemenangan. Kemenangan dalam arti keberhasilan mencapai cita-cita,
memanfaatkan segi positif dari setiap situasi yang negative. Oleh karena itu,
berusahalah menjadi wanita tanpa bergantungannya merk di seluruh tubuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustina, Inca. 2005. Gambaran Gaya
Hidup Remaja yang Memiliki Keterlibatan Tinggi Terhadap Shopping Mall.
Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya. Jakarta.
Allan&Pease,
Barbara.ed.Susanto, Danny. 2006. Easy
Peasey-People Skills for Life. Jakarta: Network TwentyOne.
Carnegie,
Dale.ed.Hartaya, tim. 1989. Petunjuk
Hidup tentram dan Bahagia. Jakarta: PT Gramedia.
Carroll , Christopher D. 2006. Consumption
and Saving: Theory and Evidence. Diakses 25 Juni 2011.
_____.
2011. Membanngun Persona Branding. Majalah Femina:
2011.
Laporan
BPS periode Agustus 2010
Prawono, Inge Yuliana. 2005. Perbedaan
Perilaku Konsumtif untuk Produk Fashion Antara Remaja Putra dan Putri.
Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya. Jakarta.
Rohmah,
Farida Nur,dkk.2007. Membangun Emotional
Branding Connection dengan Konsumen. Makalah. Universitas Diponegoro.
Rosandi, Andika Filona. 2004. Perbedaan
Perilaku Konsumtif Antara Mahasiswa Pria dan Wanita di Universitas Katolik Atma
Jaya. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya. Jakarta.
Santrock, John W. (2003). Adolescence
(9th ed). McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Siklus
Haid Bikin Perempuan Boros. Haluan:
14 Mei 2011. Diakses 25 Juni 2011.
Sudarman,Ari&Algifari.2009. Ekonomi Mikro-Makro. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta.
Yuanita, Lisa. 2003. Gambaran
Terjadinya Perilaku Konsumtif dalam Membeli Telepon Selular. Skripsi.
Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya. Jakarta.