Jumat, 11 November 2011

STRATEGI INTERGROUP DIALOG INTERELIGIUS (IDI) UNTUK PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA



STRATEGI INTERGROUP DIALOG INTERELIGIUS (IDI) UNTUK PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA

Latar belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat kompleks. Kompleksitas itu tercermin dari banyaknya suku, bahasa, ras dan golongan. Keberagaman tersebut seharusnya patut kita syukuri sebagai warisan sejarah Indonesia yang terbentuk semenjak berabad-abad yang lalu. Perjuangan mempersatukan suku, bahasa, ras dan golongan yang dilakukan oleh para pahlawan seharusnya tidak berhenti ketika sumpah pemuda. Bahkan seharusnya sumpah pemuda menjadi momentum refleksi betindak bagi mereka yang berilmu.
Sejalan dengan pemikiran Samiyono (2010:8) yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam memahami arti kebhinekaan. Hal itu tidak dipungkiri karena dibeberapa daerah santer terdengar konflik yang berlatar belakang agama, suku dan kelompok. Pendapat tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Samiyono( 2010:8) yaitu minimnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang kebhinekaan, rendahnya toleransi antar kelompok atau golongan dalam masyarakat Indonesia, menguatnya sentimen primodial antar agama, suku dan kelompok yang mengancam integrasi bangsa dan harmoni sosial serta hilangnya suatu mutual trust (kepercayaan) antar anggota masyarakat.
Data yang dikumpulkan oleh warta titian damai (2009) selama satu tahun dari bulan januari hingga bulan desember 2008 menyebutkan bahwa telah terjadi 1.136 insiden konflik dan kekerasan selama satu tahun di seluruh wilayah Indonesia. Artinya terjadi 3 insiden konflik kekerasaan setiap harinya. Lebih khusus lagi, disebutkan bahwa jumlah konflik etnis dan agama sebanyak 2% atau 28 insiden. Jumlah tersebut mendapat perhatian khusus, karena hal ini dapat menjadi isu yang sangat potensial. Seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Warta Titian bahwa jumlah ini memang tergolong kecil jika dibandingkan dengan total insiden konflik dan kekerasan yang terjadi, namun konflik ini sangat berpotensi ditunggangi oleh beberapa orang untuk kepentingan politik.
Dewasa ini dunia disuguhkan dengan konsep globalisasi, yang menurut penulis tidak jauh berbeda dengan zaman kerajaan. Pengaruh globalisasi merupakan kreasi dari perkampungan global di mana masyarakat sangat transparan satu sama lain. Masyarakat yang berasal dari satu kepercayaan dan agama yang hidup diperkampungan global, haruslah memilki visi yang religius, yang akan berlaku adil terhadap agama mereka sendiri, dan juga terhadap agama yang dimiliki komunitas lain, dengan sebuah kesadaran positif tentang adanya perbedaan-perbedaan antar berbagai kelompok (Madjid dalam Zamharir, 2004:X).
Isu globalisasi menjadi populer jika disandingkan dengan isu pluralitas. Pluralitas sendiri oleh masyarakat Indonesia selama ini tidak diimbangi dengan kesadaran dan keinsyafan untuk mengelolanya dan kemudian dijadikan modal sosial pembangunan bangsa (Alfian, _:1). Falsafah negara kita dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sangatlah menghargai keberanekaragaman masyarakat di Indonesia.
Namun, seperti yang dikatakan Alfian, jika semua kekayaan sosial yang kita miliki ini tidak dikelola secara sadar dalam kegiatan berbangsa dan bernegara maka akan menjadi bom waktu. Sifat manusiawi manusia yang selalu ingin memenuhi kebutuhannya juga dapat menjadi salah satu faktor negara kita bubar jalan. Tumpang tindihnya kepentingan politik dengan menunggangi agama tentu akan berdampak perpecahan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan sadar adalah dengan mengadakan intergrup dialog interreligius (IDI).
Intergrup dialog intereligius adalah perkawinan metode intergroup yang biasa dilakukan oleh pemerhati sosial dengan kemampuan berdialog secara mendalam. Penerapan IDI dapat dilakukan melalui kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. IDI juga dapat diterapkan di lembaga-lembaga sosial yang memberikan perhatian khusus terhadap pembentukan karakter untuk memahami pluralitas, seperti sekolah. Dengan bertambah canggihnya teknologi dan kemampuan berintetraksi dengan orang lain IDI dapat dilakukan dengan kesadaran yang tinggi dalam berdialog melalui jejaring sosial.
Dengan begitu, harapan penulis sebagai salah satu agen perubahan (Kartasasmita, 1994:2) dapat memberikan sumbangan pemikiran baru sebagai wujud eksistensialis individu dan di masyarakat. Arus globalisasi yang begitu deras serta dukungan teknologi yang kian canggih harus segera diantisipasi dengan ide-ide sosial yang praksis, sehingga ritmenya seimbang.
Pluralitas Masyarakat Indonesia
Pluralitas berasal dari kata plural. Plural sendiri dalam kamus oxford memiliki arti “one with more than one race” “satu dengan lebih dari satu ‘ race’”. ‘race  sendiri  memiliki arti “group of tribes or nation” “kelompok bangsa”. Plurality sendiri memiliki arti “state of being plural” “negara yang hidup plural”.  Dapat ditarik kesimpulan bahwa pluralitas adalah keadaan suatu negara yang di dalamnya terdapat lebih dari karakter satu bangsa.
Menurut Andriarti (1999:_) pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal, masyarakat Indonesia dapat dikelompokan menurut agama, ras, etnis, budaya, dan lokalitas. Secara vertical, masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Menurut Manurung , pluralitas agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kekayaan spiritual yang tidak ternilai untuk terus dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, pluralitas ini sering kali dijustifikasi sebagai faktor penghambat dan penghalang kita untuk dapat saling bekerja sama dan berbagi kebahagian dengan mereka yang berbeda.
            Memahami penelitian Furnivall (dalam alfian,2-3) tentang masyarakat Indonesia yang digambarkan sebagai masyarakat majemuk yang menarik, dimana orang-orang bisa hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan budaya sosial mereka terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Penelitian Furnivall memberi penekanan  terhadap sebab utama kemajemukan adalah faktor ekonomi. Pada kemajemukan ekonomi tidak terdapat kemauan bersama antara kelompok-kelompok yang terpisah kecuali usaha mempertahankan diri dari ancaman eksternal. Seiring dengan itu, dalam bidang politik, kelompok-kelompok masyarakat yang terpisah secara ekonomi membentuk suatu konfederasi yang disatukan oleh perjanjian atau konstitusi yang terbatas, sekedar untuk mencapai tujuan bersama terutama untuk urusan luar negeri. Hal itu bertolak belakang dengan kehidupan di dalam, dimana masing-masing anggota konfederasi memiliki hak otonom yang luas.
            Berdasarkan penelitian yangn telah dilakukan oleh Furnivall maka politik identitaslah yang kemudian akan menjadi potensi laten dalam menjaga keberagaman.  Budianta (2003) menjelaskan tentang politik identitas bahwa dalam memperjuangkan pengakuan atas keseragaman budaya, orang berbicara atas nama satu kelompok budaya tertentu, dengan identitas tertentu yang mengacu pada etnisitas, ras, agama, atau daerah. Karena perjuangan untuk mendapatkan hak terkait dengan identitas budaya tertentu, maka dengan sendirinya muncul berbgai persoalan mengenai kepemilikkan identitas politik. Pertanyaannya adalah adakah rakyat Indonesia yang ketika bertemu tidak menanyakan politik identitas?
            Politik identitas yang beraroma esensialis[1] baik itu agama, etnisitas, ras, dan budaya lokal tidak seluruhnya mengandung unsur yang mencerahkan, terkadang membelenggu individu yang hidup di dalamnya dan bukan membebaskannya. Seperti yang dijelaskan oleh Maslow terkait dengan teori kebutuhan bertingkat[2], menjelaskan bahwa agama dan filsafat yang menjadi salah satu politik identitas sementara ini dianggap orang sebagai alat yang bisa membantu mereka untuk mengorganisasi dunianya. Dengan jalan menyatukan dirinya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama atau filsafat yang dianut, maka orang-orang merasa aman. Pengekspresian lain dari kebutuhan akan rasa aman ini bisa muncul apabila individu-individu dihadapkan kepada keadaan-keadaan gawat seperti perang, gelombang kejahatan, kerusuhan dan bencana alam (Koswara, 1991:122).
            Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pluralitas agama. Pluralitas tidak dapat diingkari karena telah memberi warna-warna tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Effendi (2001:42) setiap agama memiliki dua sifat yang melekat pada dirinya sendiri, yakni bersifat inklusif, universal, transcending dan bersifat eksklusif, particular, dan primodial. Lebih lanjut lagi Geertz (1981:475) berpendapat bahwa karena agama tidak hanya memainkan peranan pemecah yang menimbulkan disintegrasi.
            Beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan pluralitas agama di Indonesia dapat menjadi tantangan yang berpotensi konflik tetapi juga dapat menjadi peluang. Tantangan dapat muncul dari sifat ekslusif masing-masing agama, sedangkan peluang muncul dari kemungkinan konflik bisa ditangani dan berubah menjadi dukungan moral, etis dan spiritual yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama (Titaley 2003:201). Tantangan menurut Koentjaraningrat (1990:143) itu karena perbedaan agama dan perbedaan budaya sehingga memunculkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain serta tidak jarang hubungan antar etnik, budaya dan agama di Indonesia dilatarbelakangi suasana persaingan, dan persaingan-persaingan itu memunculkan potensi konflik.
            Coward (1994:185)[3] berpendapat mengenai pranggapan-pranggapan utama mengenai situasi sekarang dalam pluralitas agama, yaitu (1)praanggapan bahwa dalam semua agama ada pengalaman mengenai suatu realitas yang mengatasi konsepsi manusia; (2) bahwa realitas itu dipahami dengan berbagai cara baik dalam masing-masing agama maupun dikalangan semua agama dan bahwa pengakuan terhadap pluralitas diperlukan baik untuk melindungi kebebasan beragama maupun untuk menghormati keterbatasan manusiawi; (3) bahwa bentuk-bentuk plurallitas agama-agama berfungsi sebagai alat; (4) bahwa karena keterbatasan kita sekaligus kebutuhan kita, mengenai realitas yang transeden, maka pengalaman particular kita, meskipun terbatas, akan berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi kita; (5) bahwa melalui dialog yang kritis terhadap diri sendiri mengenai realitas yang transeden (dan mungkin ke dalam realitas transenden orang-orang lain).
           
Intergroup Dialog
“Intergroup dialog is a public process designed to involve individuals and group in an exploration of societal issues such as politics, racism, religion, and culture that are often flashpoint for polarization and social conflict (Dessel, Rogge,& Galington, 2006:1). Intergroup dialogue has the potential to harness extraordinary power toward the goal of achieving personal and community transformation, conflict resolution, advocacy, and social chance.”

(“intergrup dialog adalah proses sosial yang dirancang untuk melibatkan individu dan kelompok dalam mengekplorasi isu-isu sosial seperti politik, ras, agama, dan budaya yang sering sensitive untuk pemisahan dan konflik sosial (Dessel, Rogge,& Galington, 2006:1). Intergroup dialog memiliki potensi untuk memproduksi kekuatan lebih dari biasanya guna tujuan puncak dari perubahan pola pikir untuk menghargai orang dan kelompok, resolusi konflik, advokasi, dan perubahan sosial.”)
Skeptis
Goldenberg[4] menyebutkan kata skeptis dalam definisinya tentang ilmu social. Dia menyebutkan bahwa format ilmu sosial bersifat skeptic, sistemastis, mengandung bukti-bukti dan negatifistik. Descrates sendiri berpendapat bahwa kekegunaan akan suatu keragu-raguan yang sudah demikian umumnya itu selalu tidak tampak, namun pada waktu yang sama kegunaan tersebut besar sekali. Keraguan-raguan tersebut membebasakan kita dari setiap macam prasangka dan mempersiapkan suatu jalan sederhana bagi kita guna melepaskan akal dari pengaruh panca indera, yang pada akhirnya tidak memungkinkan kita untuk meragu-ragukan hal yang pada suatu ketika telah diketemukkan sebagai suatu “kebenaran”.
Pemikiran diatas sesuai dengan salah satu fungsi pokok sosiologi yakni debunking process, dimana prosesnya berawal dari landasan pengetahuan yang menimbulkan keragu-raguan atas mitos menuju pada pembuktian realitas sosial empiris.[5] Debunking, menurut Bryjack dan Soroka [6] merupakan pengamatan lebih terhadap level daripada interpretasi baku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Suriasumantri [7] menjelaskan bahwa secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Penetapan ruang lingkup batas penelaahan  keilmuan yang bersifat epistemology  yang menginsyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan atau penyusunan pernyataan bersifat benar secara ilmiah.
Berawal dari kesadaran suatu masalah, lalu meragukan kebenarannya kemudian menguji secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan sesuatu yang “katanya benar”.  Pola pikir tersebut cukupalah rasional karena tidaklah cukup mengatakan “kita meragu-ragukan….” Sehingga kita harus mengatakan “saya meragukan, karena…” dan memberikan argumennya. Jadi, keraguan itu memerlukan argument rasional untuk mendeskripsikan suatu realitas yang diragukan.
Dramaturgical Analysis
Dramaturgi berarti seni tehnik dari komposisi dramatis dan representatsi teatrikal.[8] Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi "wilayah depan" (front region) dan "wilayah belakang" (back region). Wilayah depan adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu atau suatu tim menampilkan peran formal atau bergaya, bak memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara. Sebaliknya, wilayah belakang adalah tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka mempersiapkan peran di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung depan (front stage) yang ditonton khalayak, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Analisis dramaturgi dapat dikategoriksan sebagai metode kritis dan reflektif.[9] Pendekatan krirtis dijelaskan oleh Welsh dan Young bahwa dramaturgi membantu kita dalam mempertanyakan legitimasi relasi sosial yang merupakan tahap penjauhan dari peranan yang diembannya. Pendekatan reflektif menurut Welsh dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi epitimologi. Secara epistimologi beliau berpendapat bahwa posisi orang jika berada pada konteks sosial tertentu. Konteks yang ingin disampaikan menurut penulis dari pendapat diatas adalah, bagaimana seseorang mampu memposisikan dirinya ditempat orang lain tetapi dalam konteks sosial yang sama pula. Kedua, dimensi refleksi ontology. Di dalam dimensi ontology refleksi dijelasakan sebagai suatu keadaan dimana seseorang memposisikan dirinya dalam keadaan yang netral atau terikat. Kedua hal inilah yang kemudian Sugandi (2002:51) menyebutnya sebagai key concept yang patut diingat dari analisa dramaturgi adalah self and society twin born (individu dan masyarakat adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan).
Analisis History
Whoever controls the past controls the future. Whoever controls the present controls the past (siapapun yang mengontrol masa lalu samadengan mengontrol masa depan. Siapun yang mengontrol hari ini sama artinya mengontrol masal lallu). Begitulah dua kalimat yang diungkapkan Orwell[10] untuk menjelaskan betapa pentingnya peran sejarah dalam membangun masa depan.
Histori menjadi salah satu pintu masuk menuju penelusuran latar belakang suatu kontruksi sosial atas realitas. Seperti yang dijelaskan oleh Reinharz, bahwa sejarah kehidupan tidak hanya menghasilkan dekripsi mengenai kehidupan manusia, akan tetapi juga merupakan kunci kebudayaan sosioemosional dari suatu komunitas.[11] Disebutkan Sugandi (2002:143) bahwa analisis historis memperlihatkan wacana lokalitas system sosial tertentu serta berupaya menemukan yang ‘retak’ yang akan menjadi pokok kajian penelitian.
Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh para ahli, penulis berpendapat bahwa analisis historis seharusnya menjadi salah satu kajian yang diperlukan untuk memperoleh kebenaran dari berbagai perspektif.
Dialektika Analisa Sosial
Untuk menganalisis dunia sosial beberapa ahli mempergunakan level analisis sosial salah satunya Edel. Edel menggunakan analisis sosial dengan engkonfrontasikan orientasi structural yang member karakter statis terhadap realitas sosial. Edel menekankan pentingnya historis dan dinamika sosial yang mewarnai makrostruktur. Interaksi dan aksi actor setiap hari turut berperan dalam memproduksi struktur sosial yang lebih luas. Edel memulai analisis dari tingkat mikroskopik menuju makroskopik (gb.1). [12] dialektika sendiri memiliki arti sebagai kunci utama guna memahami inter relasi antarlevel.

Analisa Fact Filled Risterian
Fact filled menurut Sugandi (2002:142) merupakan pemaparan fakta actual yang menggambarkan beberapa hal. Pertama, fakta historis atau setting sosial. Kedua, penyajian data kualitatif dan kuantitatif. Ketiga, keterkaitan level analisa sosial secara dinamis antara mikroskopik dan makroskopik. Keempat, penyajian kerangka teori yang dibalut dengan fakta. Kelima, aplikasi imajinasi sosiologis yang membekali public tentang awareness of social force. Keenam, kritik secara refleksif serta forcesting yang bersikap preskirptif.
Keseluruhan poin diatas menurut Sugandi (2002:142) mencerminkan karakter Ritzerian sebagai resolusi konflik. Tanggung jawab sosial seorang analis sosial tersirat dalam cara Ritzer mengaplikasikannya dalam imajinasi sosial atau peramalan ilmiah yang bersifat preskriptif.
The Theoretical self consciousness
The theoretical self consciousness atau teori pemahaman diri sendiri memang banya menggunakan pemikiran Ritzer. Mills[13] mencita-citakan imajinasi sosial, namun Ritzer menjelaskan The theoretical self consciousness dapat dilakukan dengan jalan membuat menjabarkan berbagai factor intelektual dan sosial yang mendasari karya sosiolog sehingga lebih eksplisit dan diperhitungkan secara analisis kritis. Self consciousness yang besar akan menggiring kita menuju pemahaman teori yang lebih baik, bersikap kritis atau self critism dan puncak perbaikan teori.
Hasil refleksi diri berupa kritis diri digunakan sebagai self correct atau koreksi diri yang akan sangat membantu dalam pencapaian suatu masyarakat rasional dan humanis. Oleh karena itu, untuk menuju masyarakat yang rasional dan humanis dibutuhkan beberapa kerangka berpikir yang dijabarkan dalam beberapa poin sebelumnya.
Strategi Intergroup Dialog Intereligius (IDI) Untuk Pluralitas Masyarakat Indonesia
Strategi IDI ini terinspirasi dari sebuah strategi brain storming dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.  Namun bedanya, lokasi dan cakupan sasarannya digunakan untuk menuju resolusi konflik dimasyarakat yang kompleks. Strategi ini dirancang dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelompok masyarakat. Kelompok kecil tersebut kemudian dipecah kembali menjadi beberapa kelompok diskusi dari masing-masing kerangka berpikir (gb.2). Kemudian disatu kembali untuk di bagikan pemikirannya dalama satu dialog utuh.
Sebelum proses IDI diterapkan penulis berpendapat diperlukan pretes survey untuk memiliki tolak ukur yang akurat. Tolak ukur yang akurat inilah yang kemudian di kembangkan dalam analisis sosial leh para analis sosial. Kemudian di terapkanlah proses IDI. Setelah proses IDI ini berlangsung analis mengambil posttest survey untuk menarik kesimpulan apakah proses IDI telah berhasil atau tidak berhasil. Jika berhasil dibutuhkan tindak lanjut berupa pelestarian sosial berupa kegiatan-kegiatan tetrstruktur untuk masyarakat sekitar. Akan tetapi jika tidak berhasil maka proses IDI diulang kembali untuk menemukan dibagian kerangka mana yang mengalami perbedaan pendapat dan sulit dibicarakan.
Dalam strategi ini dibutuhkan kepiawaian seorang analis sosial yang mampu memahami kondisi sosial masyarakat. Penulis berpendapat, jika dalam sebuah ilmu alam terdapat rekayasa genetika, mengapa dalam bidang sosial tidak kita upayakan mekondisikan masyarakat terbiasa berdialog secara terbuka sebagai salah cara menuju rekayasa sosial untuk menghasilkan produk masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam konsep IDI ini penulis memasukkan social network sebagai salah satu cara yang ikut dalam situasi perubahan sosial menuju era teknologi. Pengembangan ini diharapkan mampu mempublikasikan bagaimana memanfaatkan jejaring sosial untuk mempermudah pembentukan pemahaman pluralitas. Namun, sosial network ini dirasakan oleh penulis butuh pengkajian lebih mendalam. Karena Ritzer[14] menyebutkan bahwa isu pokok dalam setiap analisa sosiologi berbeda-beda sesuai dengan social crisis yang juga bersifat lokalitas. Pendapat ini tentu bertolak belakang dengan fungsi network social yang bertujuan global.                  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar