STRATEGI INTERGROUP DIALOG INTERELIGIUS (IDI) UNTUK PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA
Latar belakang
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang sangat kompleks. Kompleksitas itu tercermin
dari banyaknya suku, bahasa, ras dan golongan. Keberagaman tersebut seharusnya
patut kita syukuri sebagai warisan sejarah Indonesia yang terbentuk semenjak
berabad-abad yang lalu. Perjuangan mempersatukan suku, bahasa, ras dan golongan
yang dilakukan oleh para pahlawan seharusnya tidak berhenti ketika sumpah
pemuda. Bahkan seharusnya sumpah pemuda menjadi momentum refleksi betindak bagi
mereka yang berilmu.
Sejalan
dengan pemikiran Samiyono (2010:8) yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia
mengalami kemunduran dalam memahami arti kebhinekaan. Hal itu tidak dipungkiri
karena dibeberapa daerah santer terdengar konflik yang berlatar belakang agama,
suku dan kelompok. Pendapat tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
Samiyono( 2010:8) yaitu minimnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang
kebhinekaan, rendahnya toleransi antar kelompok atau golongan dalam masyarakat
Indonesia, menguatnya sentimen primodial antar agama, suku dan kelompok yang
mengancam integrasi bangsa dan harmoni sosial serta hilangnya suatu mutual trust (kepercayaan) antar anggota
masyarakat.
Data
yang dikumpulkan oleh warta titian damai (2009) selama satu tahun dari bulan
januari hingga bulan desember 2008 menyebutkan bahwa telah terjadi 1.136
insiden konflik dan kekerasan selama satu tahun di seluruh wilayah Indonesia.
Artinya terjadi 3 insiden konflik kekerasaan setiap harinya. Lebih khusus lagi,
disebutkan bahwa jumlah konflik etnis dan agama sebanyak 2% atau 28 insiden.
Jumlah tersebut mendapat perhatian khusus, karena hal ini dapat menjadi isu
yang sangat potensial. Seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Warta Titian
bahwa jumlah ini memang tergolong kecil jika dibandingkan dengan total insiden
konflik dan kekerasan yang terjadi, namun konflik ini sangat berpotensi
ditunggangi oleh beberapa orang untuk kepentingan politik.
Dewasa
ini dunia disuguhkan dengan konsep globalisasi, yang menurut penulis tidak jauh
berbeda dengan zaman kerajaan. Pengaruh globalisasi merupakan kreasi dari
perkampungan global di mana masyarakat sangat transparan satu sama lain.
Masyarakat yang berasal dari satu kepercayaan dan agama yang hidup
diperkampungan global, haruslah memilki visi yang religius, yang akan berlaku
adil terhadap agama mereka sendiri, dan juga terhadap agama yang dimiliki
komunitas lain, dengan sebuah kesadaran positif tentang adanya
perbedaan-perbedaan antar berbagai kelompok (Madjid dalam Zamharir, 2004:X).
Isu
globalisasi menjadi populer jika disandingkan dengan isu pluralitas. Pluralitas
sendiri oleh masyarakat Indonesia selama ini tidak diimbangi dengan kesadaran
dan keinsyafan untuk mengelolanya dan kemudian dijadikan modal sosial
pembangunan bangsa (Alfian, _:1). Falsafah negara kita dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” sangatlah menghargai keberanekaragaman masyarakat di Indonesia.
Namun,
seperti yang dikatakan Alfian, jika semua kekayaan sosial yang kita miliki ini
tidak dikelola secara sadar dalam kegiatan berbangsa dan bernegara maka akan
menjadi bom waktu. Sifat manusiawi manusia yang selalu ingin memenuhi
kebutuhannya juga dapat menjadi salah satu faktor negara kita bubar jalan.
Tumpang tindihnya kepentingan politik dengan menunggangi agama tentu akan
berdampak perpecahan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan
dengan sadar adalah dengan mengadakan intergrup dialog interreligius (IDI).
Intergrup
dialog intereligius adalah perkawinan metode intergroup yang biasa dilakukan
oleh pemerhati sosial dengan kemampuan berdialog secara mendalam. Penerapan IDI
dapat dilakukan melalui kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. IDI juga dapat
diterapkan di lembaga-lembaga sosial yang memberikan perhatian khusus terhadap
pembentukan karakter untuk memahami pluralitas, seperti sekolah. Dengan
bertambah canggihnya teknologi dan kemampuan berintetraksi dengan orang lain
IDI dapat dilakukan dengan kesadaran yang tinggi dalam berdialog melalui
jejaring sosial.
Dengan
begitu, harapan penulis sebagai salah satu agen perubahan (Kartasasmita,
1994:2) dapat memberikan sumbangan pemikiran baru sebagai wujud eksistensialis
individu dan di masyarakat. Arus globalisasi yang begitu deras serta dukungan
teknologi yang kian canggih harus segera diantisipasi dengan ide-ide sosial
yang praksis, sehingga ritmenya seimbang.
Pluralitas Masyarakat Indonesia
Pluralitas
berasal dari kata plural. Plural sendiri dalam kamus oxford memiliki arti “one with more than one race” “satu
dengan lebih dari satu ‘ race’”. ‘race’
sendiri memiliki arti “group of tribes or nation” “kelompok
bangsa”. Plurality sendiri memiliki arti “state
of being plural” “negara yang hidup plural”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pluralitas
adalah keadaan suatu negara yang di dalamnya terdapat lebih dari karakter satu
bangsa.
Menurut
Andriarti (1999:_) pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat secara
horizontal maupun vertical. Secara horizontal, masyarakat Indonesia dapat
dikelompokan menurut agama, ras, etnis, budaya, dan lokalitas. Secara vertical,
masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah,
dan golongan bawah. Menurut Manurung , pluralitas agama, budaya, ras, bahasa,
dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kekayaan spiritual
yang tidak ternilai untuk terus dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, pluralitas ini sering kali dijustifikasi sebagai faktor penghambat dan
penghalang kita untuk dapat saling bekerja sama dan berbagi kebahagian dengan
mereka yang berbeda.
Memahami penelitian Furnivall (dalam
alfian,2-3) tentang masyarakat Indonesia yang digambarkan sebagai masyarakat
majemuk yang menarik, dimana orang-orang bisa hidup berdampingan secara fisik,
tetapi karena perbedaan budaya sosial mereka terpisah dan tidak tergabung dalam
satu unit politik. Penelitian Furnivall memberi penekanan terhadap sebab utama kemajemukan adalah
faktor ekonomi. Pada kemajemukan ekonomi tidak terdapat kemauan bersama antara
kelompok-kelompok yang terpisah kecuali usaha mempertahankan diri dari ancaman
eksternal. Seiring dengan itu, dalam bidang politik, kelompok-kelompok
masyarakat yang terpisah secara ekonomi membentuk suatu konfederasi yang
disatukan oleh perjanjian atau konstitusi yang terbatas, sekedar untuk mencapai
tujuan bersama terutama untuk urusan luar negeri. Hal itu bertolak belakang
dengan kehidupan di dalam, dimana masing-masing anggota konfederasi memiliki
hak otonom yang luas.
Berdasarkan penelitian yangn telah
dilakukan oleh Furnivall maka politik identitaslah yang kemudian akan menjadi
potensi laten dalam menjaga keberagaman.
Budianta (2003) menjelaskan tentang politik identitas bahwa dalam
memperjuangkan pengakuan atas keseragaman budaya, orang berbicara atas nama
satu kelompok budaya tertentu, dengan identitas tertentu yang mengacu pada
etnisitas, ras, agama, atau daerah. Karena perjuangan untuk mendapatkan hak
terkait dengan identitas budaya tertentu, maka dengan sendirinya muncul berbgai
persoalan mengenai kepemilikkan identitas politik. Pertanyaannya adalah adakah
rakyat Indonesia yang ketika bertemu tidak menanyakan politik identitas?
Politik identitas yang beraroma
esensialis[1]
baik itu agama, etnisitas, ras, dan budaya lokal tidak seluruhnya mengandung
unsur yang mencerahkan, terkadang membelenggu individu yang hidup di dalamnya
dan bukan membebaskannya. Seperti yang dijelaskan oleh Maslow terkait dengan
teori kebutuhan bertingkat[2],
menjelaskan bahwa agama dan filsafat yang menjadi salah satu politik identitas
sementara ini dianggap orang sebagai alat yang bisa membantu mereka untuk
mengorganisasi dunianya. Dengan jalan menyatukan dirinya dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran agama atau filsafat yang dianut, maka orang-orang
merasa aman. Pengekspresian lain dari kebutuhan akan rasa aman ini bisa muncul
apabila individu-individu dihadapkan kepada keadaan-keadaan gawat seperti
perang, gelombang kejahatan, kerusuhan dan bencana alam (Koswara, 1991:122).
Indonesia adalah salah satu negara
yang memiliki pluralitas agama. Pluralitas tidak dapat diingkari karena telah
memberi warna-warna tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Effendi
(2001:42) setiap agama memiliki dua sifat yang melekat pada dirinya sendiri,
yakni bersifat inklusif, universal, transcending dan bersifat eksklusif,
particular, dan primodial. Lebih lanjut lagi Geertz (1981:475) berpendapat
bahwa karena agama tidak hanya memainkan peranan pemecah yang menimbulkan
disintegrasi.
Beberapa pendapat diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa keberadaan pluralitas agama di Indonesia dapat menjadi
tantangan yang berpotensi konflik tetapi juga dapat menjadi peluang. Tantangan
dapat muncul dari sifat ekslusif masing-masing agama, sedangkan peluang muncul
dari kemungkinan konflik bisa ditangani dan berubah menjadi dukungan moral,
etis dan spiritual yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan beragama (Titaley 2003:201). Tantangan menurut Koentjaraningrat
(1990:143) itu karena perbedaan agama dan perbedaan budaya sehingga memunculkan
berbagai pandangan berbeda satu sama lain serta tidak jarang hubungan antar
etnik, budaya dan agama di Indonesia dilatarbelakangi suasana persaingan, dan
persaingan-persaingan itu memunculkan potensi konflik.
Coward (1994:185)[3]
berpendapat mengenai pranggapan-pranggapan utama mengenai situasi sekarang
dalam pluralitas agama, yaitu (1)praanggapan bahwa dalam semua agama ada
pengalaman mengenai suatu realitas yang mengatasi konsepsi manusia; (2) bahwa
realitas itu dipahami dengan berbagai cara baik dalam masing-masing agama
maupun dikalangan semua agama dan bahwa pengakuan terhadap pluralitas
diperlukan baik untuk melindungi kebebasan beragama maupun untuk menghormati
keterbatasan manusiawi; (3) bahwa bentuk-bentuk plurallitas agama-agama
berfungsi sebagai alat; (4) bahwa karena keterbatasan kita sekaligus kebutuhan
kita, mengenai realitas yang transeden, maka pengalaman particular kita,
meskipun terbatas, akan berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria
yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi kita; (5) bahwa melalui dialog
yang kritis terhadap diri sendiri mengenai realitas yang transeden (dan mungkin
ke dalam realitas transenden orang-orang lain).
Intergroup Dialog
“Intergroup dialog is a public process designed to
involve individuals and group in an exploration of societal issues such as
politics, racism, religion, and culture that are often flashpoint for
polarization and social conflict (Dessel, Rogge,& Galington, 2006:1).
Intergroup dialogue has the potential to harness extraordinary power toward the
goal of achieving personal and community transformation, conflict resolution,
advocacy, and social chance.”
(“intergrup
dialog adalah proses sosial yang dirancang untuk melibatkan individu dan
kelompok dalam mengekplorasi isu-isu sosial seperti politik, ras, agama, dan
budaya yang sering sensitive untuk pemisahan dan konflik sosial (Dessel,
Rogge,& Galington, 2006:1). Intergroup dialog memiliki potensi untuk
memproduksi kekuatan lebih dari biasanya guna tujuan puncak dari perubahan pola
pikir untuk menghargai orang dan kelompok, resolusi konflik, advokasi, dan
perubahan sosial.”)
Skeptis
Goldenberg[4]
menyebutkan kata skeptis dalam definisinya tentang ilmu social. Dia menyebutkan
bahwa format ilmu sosial bersifat skeptic, sistemastis, mengandung bukti-bukti
dan negatifistik. Descrates sendiri berpendapat bahwa kekegunaan akan suatu
keragu-raguan yang sudah demikian umumnya itu selalu tidak tampak, namun pada
waktu yang sama kegunaan tersebut besar sekali. Keraguan-raguan tersebut
membebasakan kita dari setiap macam prasangka dan mempersiapkan suatu jalan
sederhana bagi kita guna melepaskan akal dari pengaruh panca indera, yang pada
akhirnya tidak memungkinkan kita untuk meragu-ragukan hal yang pada suatu
ketika telah diketemukkan sebagai suatu “kebenaran”.
Pemikiran
diatas sesuai dengan salah satu fungsi pokok sosiologi yakni debunking process, dimana prosesnya
berawal dari landasan pengetahuan yang menimbulkan keragu-raguan atas mitos
menuju pada pembuktian realitas sosial empiris.[5]
Debunking, menurut Bryjack dan Soroka
[6]
merupakan pengamatan lebih terhadap level daripada interpretasi baku masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Suriasumantri [7]
menjelaskan bahwa secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah-daerah dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman
manusia. Penetapan ruang lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat epistemology yang menginsyaratkan adanya verifikasi secara
empiris dalam proses penemuan atau penyusunan pernyataan bersifat benar secara
ilmiah.
Berawal
dari kesadaran suatu masalah, lalu meragukan kebenarannya kemudian menguji
secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan sesuatu yang
“katanya benar”. Pola pikir tersebut
cukupalah rasional karena tidaklah cukup mengatakan “kita meragu-ragukan….”
Sehingga kita harus mengatakan “saya meragukan, karena…” dan memberikan
argumennya. Jadi, keraguan itu memerlukan argument rasional untuk
mendeskripsikan suatu realitas yang diragukan.
Dramaturgical Analysis
Dramaturgi
berarti seni tehnik dari komposisi dramatis dan representatsi teatrikal.[8]
Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi
menjadi "wilayah depan" (front
region) dan "wilayah belakang" (back region). Wilayah depan adalah tempat atau peristiwa sosial
yang memungkinkan individu atau suatu tim menampilkan peran formal atau
bergaya, bak memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara. Sebaliknya,
wilayah belakang adalah tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka
mempersiapkan peran di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung depan (front stage) yang ditonton khalayak,
sedangkan wilayah belakang ibarat panggung belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,
mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Analisis dramaturgi dapat
dikategoriksan sebagai metode kritis dan reflektif.[9]
Pendekatan krirtis dijelaskan oleh Welsh dan Young bahwa dramaturgi membantu
kita dalam mempertanyakan legitimasi relasi sosial yang merupakan tahap
penjauhan dari peranan yang diembannya. Pendekatan reflektif menurut Welsh
dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi epitimologi.
Secara epistimologi beliau berpendapat bahwa posisi orang jika berada pada
konteks sosial tertentu. Konteks yang ingin disampaikan menurut penulis dari
pendapat diatas adalah, bagaimana seseorang mampu memposisikan dirinya ditempat
orang lain tetapi dalam konteks sosial yang sama pula. Kedua, dimensi refleksi
ontology. Di dalam dimensi ontology refleksi dijelasakan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang memposisikan dirinya dalam keadaan yang netral atau terikat.
Kedua hal inilah yang kemudian Sugandi (2002:51) menyebutnya sebagai key concept yang patut diingat dari
analisa dramaturgi adalah self and
society twin born (individu dan masyarakat adalah dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan).
Analisis History
Whoever controls
the past controls the future. Whoever controls the present controls the past (siapapun yang
mengontrol masa lalu samadengan mengontrol masa depan. Siapun yang mengontrol
hari ini sama artinya mengontrol masal lallu). Begitulah dua kalimat yang diungkapkan Orwell[10]
untuk menjelaskan betapa pentingnya peran sejarah dalam membangun masa depan.
Histori
menjadi salah satu pintu masuk menuju penelusuran latar belakang suatu
kontruksi sosial atas realitas. Seperti yang dijelaskan oleh Reinharz, bahwa
sejarah kehidupan tidak hanya menghasilkan dekripsi mengenai kehidupan manusia,
akan tetapi juga merupakan kunci kebudayaan sosioemosional dari suatu
komunitas.[11]
Disebutkan Sugandi (2002:143) bahwa analisis historis memperlihatkan wacana
lokalitas system sosial tertentu serta berupaya menemukan yang ‘retak’ yang
akan menjadi pokok kajian penelitian.
Dari
beberapa pendapat yang disampaikan oleh para ahli, penulis berpendapat bahwa
analisis historis seharusnya menjadi salah satu kajian yang diperlukan untuk
memperoleh kebenaran dari berbagai perspektif.
Dialektika
Analisa Sosial
Untuk menganalisis dunia sosial
beberapa ahli mempergunakan level analisis sosial salah satunya Edel. Edel
menggunakan analisis sosial dengan engkonfrontasikan orientasi structural yang
member karakter statis terhadap realitas sosial. Edel menekankan pentingnya
historis dan dinamika sosial yang mewarnai makrostruktur. Interaksi dan aksi
actor setiap hari turut berperan dalam memproduksi struktur sosial yang lebih
luas. Edel memulai analisis dari tingkat mikroskopik menuju makroskopik (gb.1).
[12]
dialektika sendiri memiliki arti sebagai kunci utama guna memahami inter relasi
antarlevel.
Analisa Fact Filled Risterian
Fact
filled menurut Sugandi (2002:142) merupakan pemaparan fakta actual yang
menggambarkan beberapa hal. Pertama, fakta historis atau setting sosial. Kedua,
penyajian data kualitatif dan kuantitatif. Ketiga, keterkaitan level analisa
sosial secara dinamis antara mikroskopik dan makroskopik. Keempat, penyajian
kerangka teori yang dibalut dengan fakta. Kelima, aplikasi imajinasi sosiologis
yang membekali public tentang awareness
of social force. Keenam, kritik secara refleksif serta forcesting yang
bersikap preskirptif.
Keseluruhan poin diatas menurut
Sugandi (2002:142) mencerminkan karakter Ritzerian sebagai resolusi konflik.
Tanggung jawab sosial seorang analis sosial tersirat dalam cara Ritzer
mengaplikasikannya dalam imajinasi sosial atau peramalan ilmiah yang bersifat
preskriptif.
The Theoretical
self consciousness
The theoretical
self consciousness
atau teori pemahaman diri sendiri memang banya menggunakan pemikiran Ritzer.
Mills[13]
mencita-citakan imajinasi sosial, namun Ritzer menjelaskan The theoretical self consciousness dapat dilakukan dengan jalan
membuat menjabarkan berbagai factor intelektual dan sosial yang mendasari karya
sosiolog sehingga lebih eksplisit dan diperhitungkan secara analisis kritis. Self consciousness yang besar akan
menggiring kita menuju pemahaman teori yang lebih baik, bersikap kritis atau
self critism dan puncak perbaikan teori.
Hasil refleksi diri berupa kritis
diri digunakan sebagai self correct atau koreksi diri yang akan sangat membantu
dalam pencapaian suatu masyarakat rasional dan humanis. Oleh karena itu, untuk
menuju masyarakat yang rasional dan humanis dibutuhkan beberapa kerangka
berpikir yang dijabarkan dalam beberapa poin sebelumnya.
Strategi Intergroup
Dialog Intereligius (IDI) Untuk Pluralitas Masyarakat Indonesia
Strategi
IDI ini terinspirasi dari sebuah strategi brain
storming dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun bedanya, lokasi dan cakupan sasarannya
digunakan untuk menuju resolusi konflik dimasyarakat yang kompleks. Strategi
ini dirancang dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelompok
masyarakat. Kelompok kecil tersebut kemudian dipecah kembali menjadi beberapa
kelompok diskusi dari masing-masing kerangka berpikir (gb.2). Kemudian disatu
kembali untuk di bagikan pemikirannya dalama satu dialog utuh.
Sebelum
proses IDI diterapkan penulis berpendapat diperlukan pretes survey untuk
memiliki tolak ukur yang akurat. Tolak ukur yang akurat inilah yang kemudian di
kembangkan dalam analisis sosial leh para analis sosial. Kemudian di
terapkanlah proses IDI. Setelah proses IDI ini berlangsung analis mengambil
posttest survey untuk menarik kesimpulan apakah proses IDI telah berhasil atau
tidak berhasil. Jika berhasil dibutuhkan tindak lanjut berupa pelestarian
sosial berupa kegiatan-kegiatan tetrstruktur untuk masyarakat sekitar. Akan
tetapi jika tidak berhasil maka proses IDI diulang kembali untuk menemukan
dibagian kerangka mana yang mengalami perbedaan pendapat dan sulit dibicarakan.
Dalam
strategi ini dibutuhkan kepiawaian seorang analis sosial yang mampu memahami
kondisi sosial masyarakat. Penulis berpendapat, jika dalam sebuah ilmu alam
terdapat rekayasa genetika, mengapa dalam bidang sosial tidak kita upayakan
mekondisikan masyarakat terbiasa berdialog secara terbuka sebagai salah cara
menuju rekayasa sosial untuk menghasilkan produk masyarakat yang
dicita-citakan.
Dalam
konsep IDI ini penulis memasukkan social
network sebagai salah satu cara yang ikut dalam situasi perubahan sosial
menuju era teknologi. Pengembangan ini diharapkan mampu mempublikasikan
bagaimana memanfaatkan jejaring sosial untuk mempermudah pembentukan pemahaman
pluralitas. Namun, sosial network ini dirasakan oleh penulis butuh pengkajian
lebih mendalam. Karena Ritzer[14]
menyebutkan bahwa isu pokok dalam setiap analisa sosiologi berbeda-beda sesuai
dengan social crisis yang juga bersifat lokalitas. Pendapat ini tentu bertolak
belakang dengan fungsi network social yang bertujuan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar