Rabu, 15 Februari 2012

MENJADIKAN SAMPAH KE KOIN RUPIAH


musim hujan sepertinya mulai surut, dan musim kemarau segera menjemput. Bulan februari adalah bulan transisi diantara kedua musim populer di Indonesia. Ketika sudah memasuki musim transisi beberapa penyakit mulai bermunculan. Mulai batuk, flu, diare hingga demam berdarah. Semua itu di karenakan kebersihan lingkungan yang kurang diperhatikan.
Salah satu faktor penyebabnya adalah sampah. Pemahaman sampah oleh masyarakat sangatlah minim. Menurut mereka tidak terlalu penting memperhatikan sampah. Hanya segelintir orang yang melihat sampah menjadi peluang bisnis. Sebagai pelaku bisnis keberadaan sampah baik rumah tangga maupun rumah produksi bagaikan permata di balik lumpur.
Dalam undang-undang tentang sampah disebutkan bahwa sampah bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah tingkat propinsi, kabupaten dan kota, melainkan telah menjadi tanggung jawab perseorangan. Itu artinya sampah bisa dikelolah oleh perorangan untuk memperoleh hasil ekonomis yang maksimal. Semua hal itu telah dipayunghukumkan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang sampah.
Namun yang terjadi saat ini adalah minimnya sosialisasi pengolahan sampah berbasis ekonomi kreatif. Pemerintah masih saja menjalankan fungsinya seperti biasa. Mengangkut sampah dua kali seminggu. Setiap kepala keluarga dikenakan biaya pengankutan sampah Rp 15.000/ bulan. Menimbun sampah di tempat pembuangan sampah sementara untuk kemudian di alihkan ke TPA. Penimbunan sampah di tempat pembuangan sampah sementara daerah gedangan misalnya, tidak terawat hingga bau busuknya menggangu setiap pelintas jalan dan rumah disekitarnya.
Tidak hanya permasalahan sampah rumah tangga, melainkan permasalahan sampah yang dibuang diruang publik seperti sungai dan tanah. Semua hal itu dikarenakan pemahaman tentang sampah hanya dimiliki oleh sarjana tehnik lingkungan, dinas kebersihan dan seharusnya tukang sampah.
Namun, pada kenyataannya tukang sampah pun dianggap sebelah mata dan tidak diberdayakan. Mereka hanya di beri upah 250.000/ bulan. Hanya disuruh mengambil sampah dari bak sampah setiap harinya. Tidak diberi pengetahuan tentang jenis-jenis sampah. Pensortiran sampah. Dan pengemasan sampah basah. Semua itu hanya diperoleh manusia berpendidikan di bidangnya. Bagaimana kalau mereka saja yang dijadikan tukang sampah. Agar tukang sampah pun dihormati karena memiliki gelar pendidikan dan menjadi pekerjaan yang tidak disepelekan.
Masyarakat pun seharusnya diberi penyuluhan tentang sampah. Zaman sekarang semuanya diukur dengan rupiah. Antusiaspun bisa ditimbulkan dari rupiah. Seandainya ada harga untuk sampah basah dan kering, mungkin masyarakat jadi gemar memisahkan berdasarkan jenis-jenis sampah. Dan tugas tukangsampahpun terbantu. Oleh karena itu semua steakholder harus diberdayakan dengan prinsip keseimbangan dan kepedulian. Semua orang punya pengaruhnya tersendiri, dan kita harus sadari itu.
Diperlukan koordinasi dan integrasi kebijakan yang baik antar steakholder. Diperlukan inovasi strategi yang menarik dan menyenangkan untuk menjaring antusiasme masyarakat sehingga bisa menjadi budaya masyarakat. Salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah melalui strategi menjadikan sampah ke koin rupiah. Dan kini sampah pun bisa menjadi pundi-pundi emas.