SEPEDA
MOTOR: KRISTALISASI KEBUDAYAAN DARI ONTOLOGIS MENUJU FUNGSIONALIS MENGALAMI TRANSPARADIGMA
Dwi
Iriani*
Sepeda motor ternyata memiliki cerita
sejarah yang panjang di Indonesia. berbagai informasi mengatakan bahwa sepeda
motor sudah hadir di negara ini sejak masih berada di bawah pendudukan Belanda
dan masih bernama Hindia Timur, Oost
Indie atau East India. Data yang ada menyebutkan sepeda motor ada sejak
tahun 1893 atau 115 tahun yang lalu.
Sepeda motor pertama di buat oleh ahli mesin Jerman
Gottlieb Daimler tahun 1885 ketika dia memasang sebuah mesin dengan pembakaran
sempurna pada sebuah sepeda kayu yang dia desain sendiri. Sepeda tersebut
memiliki empat roda, termasuk dua roda tambahan (seperti roda pada sepeda
anak-anak). Kecepatan awal sepeda motor pertama ini mendekati 10Kpj.
Di Indonesia sendiri kehadiran sepeda motor pertama
kalinya dimiliki oleh orang inggris yang bernama John C Potter. Seorang masinis
ini memesannya langsung ke pabrik Hildebrand
und Wolfmüller, di Muenchen, Jerman. Sepeda motor buatan Hildebrand und Wolfmüller itu belum
menggunakan rantai, roda belakang digerakkan secara langsung oleh kruk as (crankshaft). Sepeda motor itu belum
menggunakan persneling, belum menggunakan magnet, belum menggunakan aki (accu), belum menggunakan koil, dan belum
menggunakan kabel-kabel listrik. Sepeda motor itu menyandang mesin dua silinder
horizontal yang menggunakan bahan bakar bensin atau nafta. Diperlukan waktu
sekitar 20 menit untuk menghidupkan dan mestabilkan mesinnya. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman sepeda motor mengalami penyempurnaan mulai dari
bentuk, mesin, hingga fungsinya.
Kristalisasi Kebudayaan
Dari sejarah ditemukannya sepeda motor diatas
menunjukan pada kita bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis melainkan
dinamis menuruti hasrat manusianya. Seperti yang dijelaskan Bakker, kebudayaan
tidak cukup dipahami hanya berdasarkan etimologinya. Misalkan kata culture.[1]
Kebudayaan bagi Bakker adalah suatu aktivitas/proses sekaligus hasil, dan hasil
tersebut juga mesti dibentuk dan dibentuk lagi. Kebudayaan berunsurkan
pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi dan kesenian. Unsur-unsur ini
saling berkonfigurasi memproduksi nilai-nilai, memberi bentuk dan makna.
Sepeda motor merupakan hasil dari proses. Proses
dari pemutakhiran sebuah teknologi dan aktualisasi pemikiran (idea) manusia. Mengapa demikian, hal ini
dikarenakan sepeda adalah sebuah alat yang diciptakan manusia untuk
mempersingkat waktu. Namun ketika manusia merasakan bahwa peciptaan mesin
bermotor akan lebih memepersingkat waktu dan jarak tempuh maka, ada sebuah
aktualisasi pemikiran untuk mencitakan sepeda dengan mesin bermotor. Proses
tersebut pun tidak sampai disitu, namun terus berlanjut. Hal demikianlah yang
disebut kristalisasi dalam bentuk wujud. Tidak ada lagi yang disebut sebagai
budaya berjalankaki melainkan budaya bermotor.
Dari Ontologis Menuju Fungsionalis
Paradigma ontologis menurut van Peursen adalah
keinginan secara bebas untuk mengetahui segala ihwal dengan berdistansi dari realitas.[2]
Pemikiran ontologis berbicara dan bertanya mengenai hakikat sesuatu,
berkonsentrasi pada apa itu sesuatu. Sedangkan paradigma fungsionalis merupakan
pembebasan dari kerangka pemikiran substansial, dan berkonsenterasi pada
bagaimana itu ada.
Tahap fungsional adalah pencarian kembali relasi
yang tepat antara manusia dan realitas di luarnya, upaya untuk mempertaukan
diri dalam jaringan interaksi.[3]
Dengan demikian manusia lebih memahami realitas dari sisi efek bagi dirinya.
Inilah sebuah pemikirian dengan asas terbalik.
Transparadigma
Transparadigma dikatakan sebagai perpindahan
gagasan. Perpindahan timbul akibat adanya unsur-unsur pendorong dan
keterbatasan. Sepeda motor tercipta karena pemikiran fungsionalis. Perkembangan
mesin dari abad ke abad semakin mutakhir dan lebih menguntungkan untuk konsumen
dengan pertimbangan fungsi atau biasa disebut utilitas, maka jumlah sepeda
motor di Indonesia mengalami peningkat. Selain itu, tingkat pendapatan
perkapita juga ikut menjadi indikator.
Awal perubahan paradigma terjadi dari peningkatan
atau penurunan mobilitas sosial. Seperti yang dijelaskan Narwoko [4]
Mobilitas sosial juga dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status
sosial dan biasanya termasuk pula dari segi penghasilan yang dapat dialami oleh
beberapa individu atau keseluruhan anggota kelompok. Berdasarkan Deputi Neraca
dan Bidang Analisis Statistik[5].
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 yang mencapai 4,5% membuat pendapatan
per kapita Indonesia pada tahun 2009 naik menjadi Rp 24,3 juta (US$ 2.590,1)
dibandingkan tahun 2008 yang sebesar Rp 21,7 juta (US$ 2.269,9). Hal ini
berarti berarti secara umum penduduk Indonesia terjadi peningkatan mobilitas.
Salah satu yang terpengaruh adalah perubahan standar hidup sehingga kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan tersier dapat dipenuhi.
Terjadinya transparadigma memiliki keterkaitan
dengan teori perilaku konsumen. Titik berat dari teori ini adalah bagaimana
permintaan konsumen terbentuk dan kapan konsumen merasa puas. Aspek demikian,
pada gilirannya berperan menentukan corak sikap. Selanjutnya van Peursen
menyebutkan cara tafsir kita terhadap teknologilah dan bersikap selektif
merupakan unsur strategi kebudayaan. Selain itu perlu ditekankan bahwa daya
cipta itu penting, inventivitas harus dipupuk. Daya cipta tidak serta-merta
mesti melihat ke depan. Daya cipta kadang justru memerlukan langkah mundur ke
belakang, agar dapat melompat ke depan. Karena sebuah kemajuan bisa mengandung
kemunduran yang fatal. Van Peursen mengartikan kebudayaan adalah pekerjaan yang
tidak pernah selesai.[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Peursen,
C.A. Van. 1975. Strategi Kebudayaan, dalam Basis, Juli, Jakarta.
Simon,
Fransiskus.2008. Kebudayaan dan Waktu
Senggang. Yogyakarta: Jalasutra.
____. Sepeda Motor Pertama Di
Indonesia dan Berbagai Cerita Sejarahnya . Koran Anak Indonesia. 01 Maret 2010.
El Hida, Ramdhania.
Pendapatan Per Kapita RI Naik Jadi Rp 24,3 Juta di 2009. Detik,
10 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar