musim hujan sepertinya mulai surut, dan musim kemarau segera
menjemput. Bulan februari adalah bulan transisi diantara kedua musim populer di
Indonesia. Ketika sudah memasuki musim transisi beberapa penyakit mulai bermunculan.
Mulai batuk, flu, diare hingga demam berdarah. Semua itu di karenakan
kebersihan lingkungan yang kurang diperhatikan.
Salah satu faktor penyebabnya adalah sampah. Pemahaman
sampah oleh masyarakat sangatlah minim. Menurut mereka tidak terlalu penting
memperhatikan sampah. Hanya segelintir orang yang melihat sampah menjadi
peluang bisnis. Sebagai pelaku bisnis keberadaan sampah baik rumah tangga
maupun rumah produksi bagaikan permata di balik lumpur.
Dalam undang-undang tentang sampah disebutkan bahwa sampah
bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah tingkat propinsi, kabupaten dan
kota, melainkan telah menjadi tanggung jawab perseorangan. Itu artinya sampah
bisa dikelolah oleh perorangan untuk memperoleh hasil ekonomis yang maksimal.
Semua hal itu telah dipayunghukumkan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008
tentang sampah.
Namun yang terjadi saat ini adalah minimnya sosialisasi
pengolahan sampah berbasis ekonomi kreatif. Pemerintah masih saja menjalankan
fungsinya seperti biasa. Mengangkut sampah dua kali seminggu. Setiap kepala
keluarga dikenakan biaya pengankutan sampah Rp 15.000/ bulan. Menimbun sampah
di tempat pembuangan sampah sementara untuk kemudian di alihkan ke TPA.
Penimbunan sampah di tempat pembuangan sampah sementara daerah gedangan
misalnya, tidak terawat hingga bau busuknya menggangu setiap pelintas jalan dan
rumah disekitarnya.
Tidak hanya permasalahan sampah rumah tangga, melainkan
permasalahan sampah yang dibuang diruang publik seperti sungai dan tanah. Semua
hal itu dikarenakan pemahaman tentang sampah hanya dimiliki oleh sarjana tehnik
lingkungan, dinas kebersihan dan seharusnya tukang sampah.
Namun, pada kenyataannya tukang sampah pun dianggap sebelah
mata dan tidak diberdayakan. Mereka hanya di beri upah 250.000/ bulan. Hanya
disuruh mengambil sampah dari bak sampah setiap harinya. Tidak diberi
pengetahuan tentang jenis-jenis sampah. Pensortiran sampah. Dan pengemasan
sampah basah. Semua itu hanya diperoleh manusia berpendidikan di bidangnya.
Bagaimana kalau mereka saja yang dijadikan tukang sampah. Agar tukang sampah
pun dihormati karena memiliki gelar pendidikan dan menjadi pekerjaan yang tidak
disepelekan.
Masyarakat pun seharusnya diberi penyuluhan tentang sampah.
Zaman sekarang semuanya diukur dengan rupiah. Antusiaspun bisa ditimbulkan dari
rupiah. Seandainya ada harga untuk sampah basah dan kering, mungkin masyarakat
jadi gemar memisahkan berdasarkan jenis-jenis sampah. Dan tugas tukangsampahpun
terbantu. Oleh karena itu semua steakholder
harus diberdayakan dengan prinsip keseimbangan dan kepedulian. Semua orang
punya pengaruhnya tersendiri, dan kita harus sadari itu.
Diperlukan koordinasi dan integrasi kebijakan yang baik
antar steakholder. Diperlukan inovasi
strategi yang menarik dan menyenangkan untuk menjaring antusiasme masyarakat
sehingga bisa menjadi budaya masyarakat. Salah satu alternatif yang bisa
ditempuh adalah melalui strategi menjadikan sampah ke koin rupiah. Dan
kini sampah pun bisa menjadi pundi-pundi emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar